Langsung ke konten utama

AKU TELAH MERELAKANMU PENUH KETULUSAN

Hai, Cha! Malam ini suasana terasa lebih sunyi dan tenang dari biasanya. Bagaimana kabarmu? Pasti baik bukan? Harusnya begitu. Kamu harus baik dan bahagia.

Tidak seperti biasanya, aku memilih berdiam diri di kamar, mengabaikan binatang-bintang di langit. Hanya angin lembut yang kubiarkan menyentuh wajah dan menemani kesunyian ini.

Oh, iya. Selamat, Cha. Beberapa hari lalu aku tidak sengaja menemukan unggahan kekasihmu. Dari unggahan itu sudah cukup menjelaskan kepadaku bahwa kalian benar-benar telah resmi menjadi sepasang kekasih yang bahagia.

Unggahan itu juga sudah cukup menenggelamkan harapanku ke dasar laut paling dalam; mati dan mungkin akan muncul ke permukaan sebagai bangkai tak bernyawa.

Aku kembali melihat beberapa fotomu yang kuselipkan dalam dompet. Aku memilih membakarnya satu persatu bersamaan dengan perasaanku juga.

Cha! Kenangan kita dahulu mungkin tidak terlalu manis dan berarti. Apalah artinya hubungan jarak jauh yang hanya bisa bersapa lewat layar kaca. Kita. Oh tidak, aku, kamu, hanya bertemu dua kali. Pertama di lomba debat, kedua di migrasi.

Jadi apalah artinya? Bukankah kenangan akan sulit dilupakan jika seseorang sering bertemu dan saling memberi perhatian satu-sama lain? Mungkin itulah alasanmu cepat menemukan orang baru setelah perpisahan kita.

Tapi aku tidak masalah dengan hal itu. Cinta tumbu tidak pernah bertanya waktu yang tepat; cepat atau lambat. Aku ikut berbahagia karena berpisah denganku mungkin kau tak sempat mengenal kehilangan dan air mata. Aku bersyukur.

Malam, ini aku memang membakar foto-fotomu, tapi tidak dengan kenangan kita yang tidak berarti itu. Aku akan selalu mengenangnya.

Satu hal yang aku sadari adalah bahwa ternyata saat gurat senyummu hilang perlahan bersama kepulan asap, dadaku tidak lagi bergetar. Bahkan ketika mendengar dan menyebut namamu aku sudah baik-baik saja. Tidak ada getaran luar biasa seperti dulu.

Ternyata aku sudah benar-benar merelakanmu. Aku sudah benar-benar ikhlas dan bahagia kamu bersama orang yang kau pegang erat tangannya. Itu melegakan. Karena ternyata tangisanku sudah terhenti lebih cepat dari dugaanku.

Namun, Cha. Biarkan aku menulis segala hal yang pernah kita lewati. Aku sudah merelakanmu, hadiah terbesar yang kamu berikan adalah kenangan yang akan kuabadikan dalam tulisan-tulisanku.

Ini adalah caraku belajar dan mungkin sebagai catatan bahwa dalam hidupku pernah ada namamu yang membuat hari-hari lebih cerah dari biasanya.(*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RUDI

Suara rintik hujan terdengar semakin ramai. Hujan pertama di bulan ini, tepat di pertengahan malam. Cerita itu ternyata benar bahwa hujan di malam hari akan membuat seseorang mengingat kenangan lebih banyak, lebih riuh. Melebihi jutaan tetes air dan riuhnya.  Hujan sering kali menjadi saat-saat paling susah untuk seseorang bisa move on. Entah apa sebenarnya hubungan keduanya - hujan dan kenangan. Apa jangan-jangan mereka saudara kembar yang Tuhan ciptakan dalam wujud yang berbeda? Begitulah yang Rudi pikirkan sejak pertama kali air hujan menetes di atap rumahnya. Dia sedang memikirkan wanita bernama Mia yang sudah lima tahun tak ada kabar. Nomor teleponnya mati, tidak pernah ada unggahan terbaru di media sosialnya. Entah berada di sudut dunia mana dia sekarang. Rudi merindukannya. Yang Rudi ingat ketika hujan turun di malam hari adalah pertemuan terakhirnya dengan Mia di persimpangan jalan dekat taman kota. Hujan turun saat itu. Rudi juga tidak menyangka bahwa pertemuan itu adalah ...

SELAYAKNYA CINTA, RINDU JUGA PUNYA TANGGAL KADALUARSA

Malam terus menua. Dinding-dinding rumah mulai dingin. Kaca jendela dihinggapi tetes embun. Namun aku belum bisa memejamkan mata. Beberapa lembar buku puisi telah kujamah. Lagu-lagu Bernadya tak lupa memenuhi ruangan; lirih dan syahdu. Sebagaimana pun indahnya lirik lagu Bernadya, tetap saja, sakitnya lebih terasa. Aku mencoba menerka-nerka isi kepalaku. Apa yang ia mau hingga tak mau berkompromi dengan mata agar terlelap. Ternyata ia sedang kedapatan tamu; rindu-rindu kepadamu dirimu. Entahlah, mengapa semakin hari, sesuatu yang bernama rindu ini semakin menjadi-jadi. Padahal apa yang patut dirindukan? Bukankah rindu hanya bisa terjadi pada sesuatu yang kita miliki? Sedangkan kau tidak pernah menjadi milikku. Aku memang tidak pernah mencoba untuk membunuh mati rindu ini. Karena menurutku, semakin kita paksa membunuhnya, semakin hidup abadi pula ia dalam ingatan kita. Barangkali karena rindu ini teramat cantik rupanya. Segala sesuatu yang cantik dan indah memang sukar untuk dihilangkan...