Malam terus menua. Dinding-dinding rumah mulai dingin. Kaca jendela dihinggapi tetes embun. Namun aku belum bisa memejamkan mata.
Beberapa lembar buku puisi telah kujamah. Lagu-lagu Bernadya tak lupa memenuhi ruangan; lirih dan syahdu. Sebagaimana pun indahnya lirik lagu Bernadya, tetap saja, sakitnya lebih terasa.
Aku mencoba menerka-nerka isi kepalaku. Apa yang ia mau hingga tak mau berkompromi dengan mata agar terlelap. Ternyata ia sedang kedapatan tamu; rindu-rindu kepadamu dirimu.
Entahlah, mengapa semakin hari, sesuatu yang bernama rindu ini semakin menjadi-jadi. Padahal apa yang patut dirindukan? Bukankah rindu hanya bisa terjadi pada sesuatu yang kita miliki? Sedangkan kau tidak pernah menjadi milikku.
Aku memang tidak pernah mencoba untuk membunuh mati rindu ini. Karena menurutku, semakin kita paksa membunuhnya, semakin hidup abadi pula ia dalam ingatan kita.
Barangkali karena rindu ini teramat cantik rupanya. Segala sesuatu yang cantik dan indah memang sukar untuk dihilangkan secara instan, apalagi sudah terlanjur subur dalam sanubari.
Namun, layaknya perasaan lainnya, rindu pun hanya cukup kita abaikan. Sesering apapun ia datang, jika tak kita hiraukan pada akhirnya akan meninggalkan tempat bersemayamnya.
Maka aku biarkan saja rindu-rindu ini untuk sekedar bertamu di kepalaku. Karena kutahu ia tak akan menetap, hanya kusediakan kopi bukan hati.
Minumlah, dan rasakan pahit manis yang tercampur di dalamnya. Seperti halnya cinta, rindu juga punya masa kadaluarsa.
Dan untuk segala hal yang sudah selesai, biarlah ia berlalu dan tinggal di belakang. Yang bukan milik kita biarkan pergi pada tempat semestinya. Sudahlah demikian dan lapangkan dada.
Bukankah tiada guna menyiram kembali bunga yang telah mati? Buat apa? Tidak akan tumbuh, tidak akan berbunga. Akan lebih baik jika kita bersiap untuk menanam bunga yang baru.(*)

Komentar
Posting Komentar