Hidup ternyata begitu keras, bahkan lebih keras dari batu karang yang ada di laut lepas. Selama hampir 20 tahun aku hidup di dunia ini, baru akhir-akhir ini aku menyadari bahwa kehidupan yang kita jalani tak seperti bayangan-bayangan sewaktu masih kecil dulu. Siap atau tidak, kita akan ikut serta di dalam peliknya keadaan semesta. Saling membenahi diri atau mungkin menjadi orang yang berlomba mencari kebahagiaan.
Beberapa kali aku hampir putus asa dan bahkan ingin menyerah tanpa melihat bahwa di luar sana banyak orang yang lebih rumit hidupnya daripada diriku. Ditambah malam ini setelah mendengar cerita nenek, yang ternyata bertahun-tahun hidup mereka hanya dihabiskan untuk menyambung nyawa dengan perjuangan yang sangat keras. Demi mengisi perut dengan sebutir nasi untuk keluarga, mereka rela mengurangi tidur, menahan kantuk di malam hari. Berjemur di bawah terik matahari dengan peluh bercucuran di siang harinya, hingga tanpa disadari badan mulai kurus dan menghitam.
Sampai di rumah, ditambah konflik keluarga yang enggan berakhir sebab kondisi ekonomi yang kian tak tertolong. Betapa kerasnya hidup mereka. Ada banyak pekerjaan yang mereka kerjakan, namun tak seberapa penghasilannya. Bahkan aku merasa mereka sudah lupa caranya hidup dengan baik. Sebab mereka memang tak pernah benar-benar merasakan enaknya kehidupan.
Lantas apakah pantas aku merasa seolah-olah aku adalah orang yang paling menderita dan mengenaskan di dunia ini? Masih pantaskah aku memfonis Tuhan tak adil padaku? Ah, hidup ini keras. Hanya orang yang mau berusaha keras dan selalu berinovasi yang akan memenangkan kehidupan ini. Pulau ini banyak mengajarkanku agar hidup tak sekedar santai-santai saja, tidur berlama-lama, atau lupa waktu bermain gadget, dan melakukan hal-hal yang tidak berguna, jika masih ingin hidup dengan perut kenyang.
Gili Raja, 17 Mei 2021

Komentar
Posting Komentar