Langsung ke konten utama

KENANGAN DI PULAU GILI GENING; PANTAI SEMBILAN


Saat ini aku ingin berbagi cerita tentang perjalanan ke pantai sembilan, Gili Genting. Jadi kemarin, Kamis 20 Mei 2021, aku berkunjung ke pulau sebelah. Jalan jalan bersama teman.

Sebenarnya tak ada yang menarik dari perjalanan ini. Pantai merupakan pemandangan yang tak lagi asing bagiku. Sebab aku adalah anak pulau. Rumahku di kelilingi oleh pantai pantai yang indah. Jadi berkunjung ke pantai sembilan merupakan hal yang biasa saja. Hanya yang membedakan, di pulauku tak ada gubuk gubuk dihias sedemikian bagus seperti di pantai sembilan. Namanya juga wisata, memang harus dihias sebagus mungkin agar pengunjung tertarik, kan?

Namun entah karena malas, panas yang membakar, atau rasa capek yang belum hilang akibat naik kapal laut tadi, aku dan yang lainnya tak terlalu menikmati suasana pantai ini. Kita hanya mengambil beberapa foto kemudian duduk santai di gubuk yang telah tersedia. Ada juga teman teman yang asik merayu cewek cewek.

Bukankah hal yang paling menyenangkan saat ada di pantai adalah berenang, bermain air, atau berjalan di pasir putih? Nah, kami tak melakukan semua itu. Aku sendiri hanya asik duduk ditemani sebotol minuman sambil melihat orang orang yang tampak bahagia bermain-main di pantai ini. Kebetulan cuaca hari itu cerah sekali. Awan putih berarakan, langit dan laut tampak biru. Tidak rugi lah berkunjung ke sini, lagi pula aku gak usah bayar, dibayarin teman teman. Paling tidak aku bisa keluar dari zona nyaman yang biasanya hanya rebahan di kamar saja.

Tak lama kita berada di sana. Saat sore menjelang, kira-kira jam 3:30 WIB, kita memutuskan untuk pulang. Naik perahu, oh bukan perahu, tapi kapal laut. Melihat laut lepas dengan merentangkan tangannya sambil berteriak sekeras mungkin. Tak lupa pula kita asik Selfi masing-masing. Tentunya untuk dipamerkan di media sosial "ini loh aku ada di atas kapal laut, habis jalan-jalan ke pantai sembilan." Ya meski sebenarnya siapa yang peduli?

Kapal perlahan meninggalkan pulau Gili Genting. Membelah ombak, menerjang angin. Pantai sembilan sudah tak tampak kecuali pasir putihnya. Perjalanan laut ini hanya setengah jam untuk sampai di pelabuhan Sarongghi. Sesampainya di sana kita langsung terhuyung-huyung turun dari kapan menuju mobil. Pusing sekali, entah ada yang sampai mabuk laut atau tidak. Sebenarnya masih belum puas, tapi waktu sudah mengajak pulang.

Aku diantar ke rumah, di Lobuk. Namun teman-teman tak sempat mampir. Habis itu aku tidur pulas sekali.

Lobuk, 21 Mei 2021

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RUDI

Suara rintik hujan terdengar semakin ramai. Hujan pertama di bulan ini, tepat di pertengahan malam. Cerita itu ternyata benar bahwa hujan di malam hari akan membuat seseorang mengingat kenangan lebih banyak, lebih riuh. Melebihi jutaan tetes air dan riuhnya.  Hujan sering kali menjadi saat-saat paling susah untuk seseorang bisa move on. Entah apa sebenarnya hubungan keduanya - hujan dan kenangan. Apa jangan-jangan mereka saudara kembar yang Tuhan ciptakan dalam wujud yang berbeda? Begitulah yang Rudi pikirkan sejak pertama kali air hujan menetes di atap rumahnya. Dia sedang memikirkan wanita bernama Mia yang sudah lima tahun tak ada kabar. Nomor teleponnya mati, tidak pernah ada unggahan terbaru di media sosialnya. Entah berada di sudut dunia mana dia sekarang. Rudi merindukannya. Yang Rudi ingat ketika hujan turun di malam hari adalah pertemuan terakhirnya dengan Mia di persimpangan jalan dekat taman kota. Hujan turun saat itu. Rudi juga tidak menyangka bahwa pertemuan itu adalah ...

AKU TELAH MERELAKANMU PENUH KETULUSAN

Hai, Cha! Malam ini suasana terasa lebih sunyi dan tenang dari biasanya. Bagaimana kabarmu? Pasti baik bukan? Harusnya begitu. Kamu harus baik dan bahagia. Tidak seperti biasanya, aku memilih berdiam diri di kamar, mengabaikan binatang-bintang di langit. Hanya angin lembut yang kubiarkan menyentuh wajah dan menemani kesunyian ini. Oh, iya. Selamat, Cha. Beberapa hari lalu aku tidak sengaja menemukan unggahan kekasihmu. Dari unggahan itu sudah cukup menjelaskan kepadaku bahwa kalian benar-benar telah resmi menjadi sepasang kekasih yang bahagia. Unggahan itu juga sudah cukup menenggelamkan harapanku ke dasar laut paling dalam; mati dan mungkin akan muncul ke permukaan sebagai bangkai tak bernyawa. Aku kembali melihat beberapa fotomu yang kuselipkan dalam dompet. Aku memilih membakarnya satu persatu bersamaan dengan perasaanku juga. Cha! Kenangan kita dahulu mungkin tidak terlalu manis dan berarti. Apalah artinya hubungan jarak jauh yang hanya bisa bersapa lewat layar kaca. Kita. Oh tidak...

SELAYAKNYA CINTA, RINDU JUGA PUNYA TANGGAL KADALUARSA

Malam terus menua. Dinding-dinding rumah mulai dingin. Kaca jendela dihinggapi tetes embun. Namun aku belum bisa memejamkan mata. Beberapa lembar buku puisi telah kujamah. Lagu-lagu Bernadya tak lupa memenuhi ruangan; lirih dan syahdu. Sebagaimana pun indahnya lirik lagu Bernadya, tetap saja, sakitnya lebih terasa. Aku mencoba menerka-nerka isi kepalaku. Apa yang ia mau hingga tak mau berkompromi dengan mata agar terlelap. Ternyata ia sedang kedapatan tamu; rindu-rindu kepadamu dirimu. Entahlah, mengapa semakin hari, sesuatu yang bernama rindu ini semakin menjadi-jadi. Padahal apa yang patut dirindukan? Bukankah rindu hanya bisa terjadi pada sesuatu yang kita miliki? Sedangkan kau tidak pernah menjadi milikku. Aku memang tidak pernah mencoba untuk membunuh mati rindu ini. Karena menurutku, semakin kita paksa membunuhnya, semakin hidup abadi pula ia dalam ingatan kita. Barangkali karena rindu ini teramat cantik rupanya. Segala sesuatu yang cantik dan indah memang sukar untuk dihilangkan...