Namun karena ia telah mengalihkan perhatianku, biar kuambil sedikit pelajaran saja dari hujan. Cobalah lihat baik-baik tiap tetes air yang jatuh memeluk bumi. Menggenang di jalanan, mengenang di ingatan, layaknya sebuah kehidupan.
Baik, mungkin kita akan sedikit membahas tentang hujan dan kebahagiaan. Anggap kita sedang mengkorelasikan antara keduanya. Hal yang sangat mendasar sekali sebenarnya. Barangkali tulisan ini akan menarik perhatian teman teman yang ingin hidup bahagia di jagat raya ini.
Sebenarnya begini. Setiap hal yang kita lakukan dan pilih mempunyai risiko tersendiri, termasuk juga hidup bahagia. Sebab setiap ada bahagia pasti terselip tangis duka di dalamnya.
Namun bukan berarti kita menutup jalan-jalan menuju pada kebahagiaan. Bukan berarti kita harus mengabaikan chat dari seorang kawan, hanya gara-gara takut dikecewakan di kemudian hari. Bukan berarti kita menolak setiap cinta yang datang, hanya karena takut ditinggalkan. Bukan berarti kita harus bermalas-malasan karena takut gagal.
Sebab berdiam diri saja, tak melakukan apa apa juga mempunyai risiko, bahkan mungkin akan lebih buruk dari orang yang berusaha melangkah, meniti jalan kebahagiaan tadi. Jadi, harus bagaimana? Jawabannya adalah keep going after chasing all the things you want, but do not make happy as the main purpose.
Jadi, jika kita masih menjadikan bahagia sebagai tujuan utama di dunia ini, maka kita tidak akan menemukannya. Di dunia yang fana ini tidak ada kebahagiaan sejati. Kebahagiaan hanya bersifat sementara.
Lihatlah ke lorong sana! Di antara guyuran hujan yang lebat itu, seorang kakek tua meringkuk di bawah pohon. Memeluk lututnya dengan tangan gemetar, berlindung dari terpaan hujan. Sudah lima hari dia tidak makan. Tentu rasa lapar menyiksa dirinya. Bagi kakek tua tersebut, barangkali yang dinamakan bahagia adalah ketika dia bisa makan sepuasnya, menghilangkan lapar dan dahaga.
Di tempat lain, ada seorang wanita duduk di kursi café pinggir jalan. Sesekali melihat keluar. Selain hujan yang jatuh di luar sana, pipinya juga sembab oleh air mata. Gemuruh hujan tak mampu mengalahkan gemuruh yang melanda hatinya. Ya, dia sedang sedih meratapi hidup, sebab orang yang diam-diam dia kagumi, hari ini harus dia relakan menikah dengan wanita pilihannya. Dan lebih sakitnya lagi, wanita itu adalah temannya sendiri.
Apa yang lebih dingin dari hujan? Raga yang kehilangan pelukan. Apa yang lebih membakar dari api? Pujaan hati yang bersanding dengan sahabat sendiri. Itulah yang sedang wanita itu rasakan; hancur, sehancur-hancurnya.
Bagi dia, mungkin yang dimaksud kebahagiaan adalah ketika dia bisa hidup berdua dengan orang yang dia cintai hingga tua renta, hingga hanya ajal yang bisa memisahkan mereka.
Namun tetap saja teman-teman. Tidak ada kebahagiaan yang bertahan lama. Laki-laki tua tadi, setelah bahagia karena mendapat makanan, beberapa saat setelahnya ia akan kembali mengais tumpukan sampah di jalanan. Dan bagi wanita yang sudah bersama kekasihnya kelak akan dihadapkan dengan kehilangan dan perpisahan. Entah ajal atau ada orang ketiga yang memisahkan. Benara begitu, bukan?
Maka, stop making happy as the main goal in this world.
Hujan mulai reda. Mendung perlahan hilang. Angin tak lagi kencang. Meski udara tak sepenuhnya kembali hangat. Tinggal genangan air di halaman rumah dan jalanan sana. Barangkali, aku juga harus mengakhiri tulisan ini.
Yang bisa kita ambil pelajaran adalah, bahwa hujan tak ubahnya sebuah kehidupan. Ia datang mengajak kita untuk bersyukur, bahwa tidak akan ada hangat bila tidak ada dingin. Tidak akan ada cerah bila tidak mengenal mendung. Tidak akan ada bahagia bila tiada sengsara. Bahwa sederas apa pun hujan, ia pasti reda pada akhirnya. Dan sehebat apa pun kesedihan, akan berlalu seiring berjalannya waktu. Bukankah, akan kita temukan indahnya pelangi sehabis hujan pergi?
Bagi orang yang sabar atas segala cobaan, yang bersyukur atas segala pemberian Tuhan, bahagia akan telah menantinya di surga sana. Kebahagiaan yang sebenarnya, tanpa akhir.
Ah, kacau sekali tulisan ini.
Banyuanyar

Komentar
Posting Komentar