Langsung ke konten utama

HUJAN DAN PELAJARAN KEHIDUPAN



Gerimis kian berjatuhan tepat saat aku memulai tulisan ini. Suhu bertambah dingin. Angin kencang. Langit kelabu. Percikan airnya satu-satu menempel di kaca jendela. Sempurna, hujan jatuh hari ini. Sebenarnya aku tak ingin membahas tentang hujan pada tulisanku. Apalah istimewanya ia? Mungkin menurut sebagian orang, hujan itu memang keren banget, tapi tidak banyak pula orang-orang yang menggerutu saat hujan turun.

Namun karena ia telah mengalihkan perhatianku, biar kuambil sedikit pelajaran saja dari hujan. Cobalah lihat baik-baik tiap tetes air yang jatuh memeluk bumi. Menggenang di jalanan, mengenang di ingatan, layaknya sebuah kehidupan. 

Baik, mungkin kita akan sedikit membahas tentang hujan dan kebahagiaan. Anggap kita sedang mengkorelasikan antara keduanya. Hal yang sangat mendasar sekali sebenarnya. Barangkali tulisan ini akan menarik perhatian teman teman yang ingin hidup bahagia di jagat raya ini.

Sebenarnya begini. Setiap hal yang kita lakukan dan pilih mempunyai risiko tersendiri, termasuk juga hidup bahagia. Sebab setiap ada bahagia pasti terselip tangis duka di dalamnya.

Namun bukan berarti kita menutup jalan-jalan menuju pada kebahagiaan. Bukan berarti kita harus mengabaikan chat dari seorang kawan, hanya gara-gara takut dikecewakan di kemudian hari. Bukan berarti kita menolak setiap cinta yang datang, hanya karena takut ditinggalkan. Bukan berarti kita harus bermalas-malasan karena takut gagal. 

Sebab berdiam diri saja, tak melakukan apa apa juga mempunyai risiko, bahkan mungkin akan lebih buruk dari orang yang berusaha melangkah, meniti jalan kebahagiaan tadi. Jadi, harus bagaimana? Jawabannya adalah keep going after chasing all the things you want, but do not make happy as the main purpose.

Jadi, jika kita masih menjadikan bahagia sebagai tujuan utama di dunia ini, maka kita tidak akan menemukannya. Di dunia yang fana ini tidak ada kebahagiaan sejati. Kebahagiaan hanya bersifat sementara. 

Lihatlah ke lorong sana! Di antara guyuran hujan yang lebat itu, seorang kakek tua meringkuk di bawah pohon. Memeluk lututnya dengan tangan gemetar, berlindung dari terpaan hujan. Sudah lima hari dia tidak makan. Tentu rasa lapar menyiksa dirinya. Bagi kakek tua tersebut, barangkali yang dinamakan bahagia adalah ketika dia bisa makan sepuasnya, menghilangkan lapar dan dahaga. 

Di tempat lain, ada seorang wanita duduk di kursi café pinggir jalan. Sesekali melihat keluar. Selain hujan yang jatuh di luar sana, pipinya juga sembab oleh air mata. Gemuruh hujan tak mampu mengalahkan gemuruh yang melanda hatinya. Ya, dia sedang sedih meratapi hidup, sebab orang yang diam-diam dia kagumi, hari ini harus dia relakan menikah dengan wanita pilihannya. Dan lebih sakitnya lagi, wanita itu adalah temannya sendiri.

Apa yang lebih dingin dari hujan? Raga yang kehilangan pelukan. Apa yang lebih membakar dari api? Pujaan hati yang bersanding dengan sahabat sendiri. Itulah yang sedang wanita itu rasakan; hancur, sehancur-hancurnya. 

Bagi dia, mungkin yang dimaksud kebahagiaan adalah ketika dia bisa hidup berdua dengan orang yang dia cintai hingga tua renta, hingga hanya ajal yang bisa memisahkan mereka. 

Namun tetap saja teman-teman. Tidak ada kebahagiaan yang bertahan lama. Laki-laki tua tadi, setelah bahagia karena mendapat makanan, beberapa saat setelahnya ia akan kembali mengais tumpukan sampah di jalanan. Dan bagi wanita yang sudah bersama kekasihnya kelak akan dihadapkan dengan kehilangan dan perpisahan. Entah ajal atau ada orang ketiga yang memisahkan. Benara begitu, bukan?

Maka, stop making happy as the main goal in this world.

Hujan mulai reda. Mendung perlahan hilang. Angin tak lagi kencang. Meski udara tak sepenuhnya kembali hangat. Tinggal genangan air di halaman rumah dan jalanan sana.  Barangkali, aku juga harus mengakhiri tulisan ini. 

Yang bisa kita ambil pelajaran adalah, bahwa hujan tak ubahnya sebuah kehidupan. Ia datang mengajak kita untuk bersyukur, bahwa tidak akan ada hangat bila tidak ada dingin. Tidak akan ada cerah bila tidak mengenal mendung. Tidak akan ada bahagia bila tiada sengsara. Bahwa sederas apa pun hujan, ia pasti reda pada akhirnya. Dan sehebat apa pun kesedihan, akan berlalu seiring berjalannya waktu. Bukankah, akan kita temukan indahnya pelangi sehabis hujan pergi?

Bagi orang yang sabar atas segala cobaan, yang bersyukur atas segala pemberian Tuhan, bahagia akan telah menantinya di surga sana. Kebahagiaan yang sebenarnya, tanpa akhir.

Ah, kacau sekali tulisan ini.

Banyuanyar

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RUDI

Suara rintik hujan terdengar semakin ramai. Hujan pertama di bulan ini, tepat di pertengahan malam. Cerita itu ternyata benar bahwa hujan di malam hari akan membuat seseorang mengingat kenangan lebih banyak, lebih riuh. Melebihi jutaan tetes air dan riuhnya.  Hujan sering kali menjadi saat-saat paling susah untuk seseorang bisa move on. Entah apa sebenarnya hubungan keduanya - hujan dan kenangan. Apa jangan-jangan mereka saudara kembar yang Tuhan ciptakan dalam wujud yang berbeda? Begitulah yang Rudi pikirkan sejak pertama kali air hujan menetes di atap rumahnya. Dia sedang memikirkan wanita bernama Mia yang sudah lima tahun tak ada kabar. Nomor teleponnya mati, tidak pernah ada unggahan terbaru di media sosialnya. Entah berada di sudut dunia mana dia sekarang. Rudi merindukannya. Yang Rudi ingat ketika hujan turun di malam hari adalah pertemuan terakhirnya dengan Mia di persimpangan jalan dekat taman kota. Hujan turun saat itu. Rudi juga tidak menyangka bahwa pertemuan itu adalah ...

AKU TELAH MERELAKANMU PENUH KETULUSAN

Hai, Cha! Malam ini suasana terasa lebih sunyi dan tenang dari biasanya. Bagaimana kabarmu? Pasti baik bukan? Harusnya begitu. Kamu harus baik dan bahagia. Tidak seperti biasanya, aku memilih berdiam diri di kamar, mengabaikan binatang-bintang di langit. Hanya angin lembut yang kubiarkan menyentuh wajah dan menemani kesunyian ini. Oh, iya. Selamat, Cha. Beberapa hari lalu aku tidak sengaja menemukan unggahan kekasihmu. Dari unggahan itu sudah cukup menjelaskan kepadaku bahwa kalian benar-benar telah resmi menjadi sepasang kekasih yang bahagia. Unggahan itu juga sudah cukup menenggelamkan harapanku ke dasar laut paling dalam; mati dan mungkin akan muncul ke permukaan sebagai bangkai tak bernyawa. Aku kembali melihat beberapa fotomu yang kuselipkan dalam dompet. Aku memilih membakarnya satu persatu bersamaan dengan perasaanku juga. Cha! Kenangan kita dahulu mungkin tidak terlalu manis dan berarti. Apalah artinya hubungan jarak jauh yang hanya bisa bersapa lewat layar kaca. Kita. Oh tidak...

SELAYAKNYA CINTA, RINDU JUGA PUNYA TANGGAL KADALUARSA

Malam terus menua. Dinding-dinding rumah mulai dingin. Kaca jendela dihinggapi tetes embun. Namun aku belum bisa memejamkan mata. Beberapa lembar buku puisi telah kujamah. Lagu-lagu Bernadya tak lupa memenuhi ruangan; lirih dan syahdu. Sebagaimana pun indahnya lirik lagu Bernadya, tetap saja, sakitnya lebih terasa. Aku mencoba menerka-nerka isi kepalaku. Apa yang ia mau hingga tak mau berkompromi dengan mata agar terlelap. Ternyata ia sedang kedapatan tamu; rindu-rindu kepadamu dirimu. Entahlah, mengapa semakin hari, sesuatu yang bernama rindu ini semakin menjadi-jadi. Padahal apa yang patut dirindukan? Bukankah rindu hanya bisa terjadi pada sesuatu yang kita miliki? Sedangkan kau tidak pernah menjadi milikku. Aku memang tidak pernah mencoba untuk membunuh mati rindu ini. Karena menurutku, semakin kita paksa membunuhnya, semakin hidup abadi pula ia dalam ingatan kita. Barangkali karena rindu ini teramat cantik rupanya. Segala sesuatu yang cantik dan indah memang sukar untuk dihilangkan...